Puisi terbaik karya Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono merupakan maestro puisi yang sangat handal, puisi-puisi nya begitu menyentuh dan dengan kata-kata yang sederhana namun mampu memiliki arti yang dalam. Beliau lahir di surakarta 73 tahun silam tepatnya 20 maret 1940. Buku puisinya yang pertama adalah duka-Mu abadi (1969), yang terbaru Kolam (2009). Hujan Bulan Juni diterbitkan bersamaan waktunya dengan Mata Jendela. Selain oleh buku-buku puisi , Sapardi Djoko Damono juga terkenal karena Musikalisasi Puisi-puisi nya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet “Dua Ibu”). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD
Sapardi Djoko Damono merupakan maestro puisi yang sangat handal, puisi-puisi nya begitu menyentuh dan dengan kata-kata yang sederhana namun mampu memiliki arti yang dalam. Beliau lahir di surakarta 73 tahun silam tepatnya 20 maret 1940. Buku puisinya yang pertama adalah duka-Mu abadi (1969), yang terbaru Kolam (2009). Hujan Bulan Juni diterbitkan bersamaan waktunya dengan Mata Jendela. Selain oleh buku-buku puisi , Sapardi Djoko Damono juga terkenal karena Musikalisasi Puisi-puisi nya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet “Dua Ibu”). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD  berikut adalah sedikit dari karya-karya puisi beliau  :  "Aku ingin mencintamu dengan sederhana"  Aku ingin mencintaimu dengan sederhana  Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu  Aku ingin mencintaimu dengan sederhana  Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiad
Sapadi Djoko Damono

berikut adalah sedikit dari karya-karya puisi beliau  :

"Aku ingin"

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiad

" Dalam Doaku "

(Sapardi Joko Damono, 1989, kumpulan sajak
“Hujan Bulan Juni”)

Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara

Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana

Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku

Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu

SAJAK KECIL TENTANG CINTA

Mencintai angin harus menjadi siut...
Mencintai air harus menjadi ricik...
Mencintai gunung harus menjadi terjal...
Mencintai api harus menjadi jilat...
Mencintai cakrawala harus menebas jarak...
MencintaiMu harus menjadi aku”


BERJALAN KE BARAT DI WAKTU PAGI HARI

Waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari
matahari mengikutiku di belakang
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
Aku dan matahari tidak bertengkar
tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar
 tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan


PADA SUATU HARI NANTI

Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.


SEPERTI KABUT

aku akan menyayangimu
seperti kabut
yang raib di cahaya matahari
:
aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki bukit
agar bisa menghujanimu
:
pada suatu hari baik nanti


METAMORFOSIS

ada yang sedang menanggalkan kata-kata yang satu demi satu
 mendudukkanmu di depan cermin dan membuatmu bertanya
tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini
ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu
 menimbang-nimbang hari lahirmu
mereka-reka sebab-sebab kematianmu
ada yang sedang diam-diam berubah menjadi dirimu

BUNGA

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
 Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu; malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, “Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia.
Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!”


KOLAM DI PEKARANGAN

Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga ...
 tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya...
 Ia ingin sekali bisa merindukannya...
Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh ..
 hujan terbawa angin memutarnya perlahan..

YANG FANA ADALAH WAKTU

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu.
Kita abadi.


DI RESTORAN

Kita berdua saja, duduk.
Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput --
kau entah memesan apa.
Aku memesan batu ditengah sungai terjal yang deras --
kau entah memesan apa.
Tapi kita berduasaja, duduk.
Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.




itulah sobat sedikit puisi lkarya Sapardi Djoko Darmono, semoga bermanfaat...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Puisi terbaik karya Sapardi Djoko Damono"

Post a Comment